PENERAPAN SISTEM TIGA STRATA (STS) PADA LAHAN MIRING
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sebagian besar petani lahan miring di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya adalah petani peternak. Sistem usahatani tanaman ternak tersebut sudah lama diterapkan di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Pentingnya peranan ternak di dalam system usahatani semakin diperhatikan tidak hanya oleh para peneliti pertanian dan ekonomi di Indonesia, namun juga di berbagai negara Asia.
Berbagai jenis ternak telah lama digunakan dalam kegiatan usahatani di pedesaan antara lain untuk membajak lahan, transportasi hasil tani, dan sebagai penyedia pupuk untuk produksi tanaman semusim. Sebagian besar penduduk Indonesia terkonsentrasi di Jawa, Lampung, Bali dan Lombok, menyebabkan lahan yang tersedia untuk peningkatan produksi pertanian, khususnya tanaman semusim sangat terbatas.
Pada musim kering hijauan pakan ternak sangat terbatas, untuk mengatasi keterbatasan hijauan pakan ternak di musim kering perlu diterapkan system tiga strata (STS). Tujuan system tiga strata agar pakan ternak dapat tersedia sepanjang tahun. Dewasa ini, manusia mulai memperhatikan masalah kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertanian. Istilah pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture), keanekaragaman hayati (biodeversity), sistem pertanian terpadu (integrated agriculture system), dan pertanian berkelanjutan dengan masukan teknologi rendah mulai diperhatikan dan dikembangkan di banyak negara.
Ternak harus dikembangkan secara terpadu karena merupakan bagian dari “pertanian organik”. Melalui pengolahan tanah yang baik, dapat diketahui kebutuhan hara tanaman serta kondisi lingkungan dan ekologi dapat diperbaiki dan dilindungi tanpa harus tergantung pada pupuk kimia dan peptisida. Dengan demikian konsep system tiga strata (STS) dapat diuji dari sudut keamanannya terhadap manusia, hewan, flora, dan fauna tanah. Meningkatkan keragaman semua kehidupan, tetapi tetap harmonis dengan alam, tanpa harus melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Sudah saatnya kita mulai memperhatikan sistem pertanian yang harmonis, baik dari lingkungan biotik maupun lingkungan sosial ekonomi. Meskipun budidaya organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan kepada pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan, termasuk konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan banyak menghadapi kendala.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Lahan Miring
Lahan miring adalah kemiringan suatu lahan terhadap hiding horizontal. Semakin besar sudut kemiringan lahan tertentu akan semakin besar kemungkinan erosi dan longsor.kestabilan lahan pertanian daerah miring dan untuk mengurangi tingkat erosi tanah, maka diperlukan beberapa langkah berikut:
1. Terasering, Yaitu menanam tanaman dengan system berteras-teras untuk mencegah erosi tanah.
2. Contour Farming, yaitu menanami lahan menurut garis kontur, sehingga perakaran dapat menahan tanah.
3. Pembuatan tanggul pasangan(guludan) untuk menahan hasil erosi.
4. Contour Plowing, yaitu membajak searah garis contur sehingga terjadi alur-alur horizontal.
5. Contour Strip Cropping, yaitu bercocok tanam dengan cara membagi bidang tanah itu dengan bentuk sempit dan memanjang dengan mengikuti garis kontur sehingga bentuknya berbelok-belok. Masing–masing ditanami tanaman yang berbeda-beda jenisnya secara berselang-seling (tumpang sari).
6. Crop Rotation, yaitu usaha pergantian jenis tanaman supaya tanah tidak kehabisan salah satu unsur hara akibat diisap terus oleh salah satu jenis tanaman.
7. Reboisasi, menanami kembali hutan- hutan yang gundul.
Tingkat erosi suatu lahan akan sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah untuk pertanian. Semakin tinggi / besar tingkat erosi tanah permukaannya berarti semakin tidak subur dan tidak cocok untuk tanaman petanian pangan. Pengaturan air (drainage) suatu lahan juga berpengaruh terhadap kondisi kesuburan tanah. Jika pengaturan air jelek, maka tanah akan tergenang bagian permukaannya.
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan.? Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
1. Teras bangku atau teras tangga
Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga. Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku adalah:
(1) memperlambat aliran permukaan;
(2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak;
(3) meningkatkan laju infiltrasi; dan
(4) mempermudah pengolahan tanah.
Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 0o dengan bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng asli), dan miring keluar (bidang olah miring ke arah lereng asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem wanatani.
Teras bangku miring ke dalam (goler kampak) dibangun pada tanah yang permeabilitasnya rendah, dengan tujuan agar air yang tidak segera terinfiltrasi menggenangi bidang olah dan tidak mengalir ke luar melalui talud di bibir teras. Teras bangku miring ke luar diterapkan di areal di mana aliran permukaan dan infiltrasi dikendalikan secara bersamaan, misalnya di areal rawan longsor. Teras bangku goler kampak memerlukan biaya relatif lebih mahal dibandingkan dengan teras bangku datar atau teras bangku miring ke luar, karena memerlukan lebih banyak penggalian bidang olah.
Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai penguat teras. Tanaman murbei sebagai tanaman penguat teras banyak ditanam di daerah pengembangan ulat sutra. Teras bangku adakalanya dapat diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada tampingan. Model seperti ini banyak diterapkan di kawasan yang berbatu.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan teras bangku adalah:
(1) Dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, tidak dianjurkan pada lahan dengan kemiringan >40% karena bidang olah akan menjadi terlalu sempit.
(2) Tidak cocok pada tanah dangkal (<40>
(3) Tidak cocok pada lahan usaha pertanian yang menggunakan mesin pertanian.
(4) Tidak dianjurkan pada tanah dengan kandungan aluminium dan besi tinggi.
(5) Tidak dianjurkan pada tanah-tanah yang mudah longsor.
2. Teras gulud
Teras gulud adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud. Metode ini dikenal pula dengan istilah guludan bersaluran. Bagian-bagian dari teras gulud terdiri atas guludan, saluran air, dan bidang olah.
Fungsi dari teras gulud hampir sama dengan teras bangku, yaitu untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat untuk mengalirkan aliran permukaan dari bidang olah ke saluran pembuangan air. Untuk meningkatkan efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran permukaan, guludan diperkuat dengan tanaman penguat teras. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai penguat teras bangku juga dapat digunakan sebagai tanaman penguat teras gulud. Sebagai kompensasi dari kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud dapat pula ditanami dengan tanaman bernilai ekonomi (cash crops), misalnya tanaman katuk, cabai rawit, dan sebagainya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud:
1. Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, dapat juga pada lahan dengan kemiringan 40-60% namun relatif kurang efektif.
2. Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah kontur. Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap kontur, tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah.
2.2.Penanaman STS Pada Lahan Miring
Sistem tiga strata merupakan suatu cara penanaman dan pemangkasan rumput, legumenosa, semak dan pohon, sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun. Pada waktu musim hujan sebagian besar sumber pakan ternak adalah berasal dari rumput dan legumenosa (sebagai stratum satu). Sedangkan pada musim kering sebagian besar hijauan makanan ternak berasal dari semak-semak (sebagai stratum dua) dan pada akhir musim kering, sebagian besar hijauan makanan ternak berasal dari pohon-pohon (sebagai stratum tiga). Sistem tiga strata ini pertama kali dikembangkan di Bali oleh Prof. Dr. I Made Nitis dan kawan – kawan.
Sistem tiga strata adalah tata cara penanaman dan pemangkasan rumput, legumenosa, semak dan pohon, sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun. Pada waktu musim hujan sebagian besar sumber pakan ternak adalah berasal dari rumput dan legumenosa (sebagai stratum satu). Sedangkan pada musim kering sebagian besar hijauan makanan ternak berasal dari semak-semak (sebagai stratum dua), dan pada akhir musim kering, sebagian besar hijauan makanan ternak berasal dari pohon-pohon (sebagai stratum tiga). Satu unit STS, hanya memerlukan luas lahan 2.500 meter persegi, yang terdiri dari 3 bagian: bagian inti seluas 1.600 meter persegi, bagian selimut 900 meter persegi, dan bagian paling pinggir mempunyai keliling 200 meter.
Bagian inti adalah lahan yang terletak di tengah-tengah unit. Lahan ini tetap ditanami tanaman pangan seperti jagung, kedele, ketela pohon atau tanaman industri lainnya seperti cengkeh, panili, kelapa maupun kapok. Tata cara penanaman pada bagian inti ini adalah seperti yang biasa dilakukan oleh petani. Bagian selimut adalah lahan yang berada diantara bagian inti dan bagian pinggir. Pada Bagian selimut ini ditanami rumput seperti bafel, urokloa dan panikum, serta legumenosa seperti sentrosemia, stelo verano dan stelo skabra.
Bagian pinggir adalah bagian paling luar yang sekaligus menjadi batas keliling dari satu unit STS. Pohon bunut, santan dan waru ditanam pada jarak 5 meter di sekeliling unit tersebut. Di antara 2 pohon tersebut ditanami 50 gamal, dan diantara 2 pohon berikutnya ditanami lamtoro atau akasia vilosa dengan jarak tanam 10 centimeter.
Dengan demikian setiap unit STS akan dikelilingi pagar hidup yang terdiri atas 100 semak gamal dan 1.000 semak lamtoro, yang merupakan stratum kedua. Sedangkan sebanyak 14 pohon bunut, 14 pohon santan dan 14 pohon waru merupakan stratum ketiga. Setelah semua jenis pohon tersebut ditananam sesuai dengan masing-masing stratum-nya, maka setiap 2.500 meter persegi STS akan terdapat 1.600 meter persegi tanaman pangan atau industri, 600 meter persegi rumput dan legumenosa, 2.000 semak dan 42 pohon.
Sistem tiga strata selain diterapkan pada lahan yangdatar, bisa juga diterapkan pada lahan yang mempunyai kemiringan tertentu, sepanjang bagian bawah setiap terasnya ditanami semak-semak dengan jarak 1 meter serta rumput dan legumenosa unggul selebar 1 meter, dimana pada bagian bawah teras ini tidak ditanami pohon.
Sistem tiga strata biasanya diterapkan pada pertanian lahan kering yang memiliki curah hujan kurang dari 1.500 mm per tahun dengan 8 bulan musim kering, dan 4 bulan musim hujan, atau bisa juga pada pertanian lahan kering dengan topografi yang datar ataupun miring, yang kurang produktif untuk pertanian pangan. Lahan perkebunan yang mengintegrasikan ternak ruminansia seperti sapi, kambing atau biri-biri juga cocok dengan sistem ini. Demikian halnya pada lahan tidur atau lahan kritis.
Pendekatan pada sistem tiga strata adalah keterpaduan antara sistem tiga strata dengan tanaman pangan atau tanaman industri dan ternak dalam pola sistem tiga strata tersebut. Ketiga stratum (lapis) yang ada dalam unit sistem tiga strata, masing – masing punya peran atau fungsi tertentu. Stratum dua dan stratum tiga berfungsi sebagai pagar hidup, sehingga ternak sukar mengganggu tanaman pangan atau industri di dalam unit sistem tiga strata, dan sebagai penahan angin kencang yang dapat merusak tanaman pangan.
Stratum satu berperan sebagai lahan penyedia makanan bagi ternak, sehingga menghalangi ternak merusak tanaman pangan kalau pagar (stratum dua) ditembus oleh ternak. Pada lahan miring, stratum ini bisa menahan laju aliran air hujan sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan (bintil-bintil nitrogen pada akar legumenosa ikut menambah kesuburan tanah). Ternak tidak usah digembalakan karena sistem tiga strata telah menyediakan makanan yang cukup. Petani, setiap hari pergi ke ladang menjenguk tanaman palawija seperti jagung, kedele dan ketela pohon sehingga sistem tiga strara secara tidak langsung ikut terawasi.
Jerami palawija merupakan tanaman ternak cadangan dalam kemarau panjang. Gulma dibawah tanaman dan daun tanaman penyangga tanaman industri merupakan makanan ternak, memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan menambah penghasilan petani. Memangkas daun tanaman sistem tiga strata untuk ternak sehingga tidak menaungi tanaman disekitarnya, tidak menyebabkan erosi karena ternak dikandangkan dan tidak digembalakan pada lahan miring, memberikan rabuk kandang yang nilainyalebih baik dari pada pupuk hijau, ternak menyediakan tenaga kerja dan menambah penghasilan petani.
Manfaat Sistem Tiga Strata yaitu:
Meningkatkan persediaan dan mutu hijauan makanan ternak
Setiap unit STS terdapat 9 are rumput dan leguminosa, 2.000 semak dan 42 pohon. Dengan demikian, setiap unit STS akan meningkatkan persediaan hijauan sebesar 48 persen. Daun legumenosa sentrosema, stelo skabra dan steloverano pada stratum satu; daun gamal, akasia velosa dan lamtoro pada stratum dua mengandung protein 18–25 persen. Secara keseluruhan untuk tiap unit, mutu pakan hijauan kan meningkat 10–15 persen.
Menyediakan hijauan sepanjang tahun
Dengan memotong stratum satu pada musim hujan, stratum dua pada pertengahan musim kering dan stratum tiga pada akhir musim kering, maka akan tersedia hijauan makanan ternak sepanjang tahun.
Mempercepat pertumbuhan dan reproduksi ternak
Karena mutu hijauan meningkat maka sapi jantan tumbuh 13 persen lebih cepat. Sapi jantan yang tumbuh lebih cepat, menyebabkan waktu pencapaian berat ekspor 375 kg lebih cepat 12 persen. Sapi betina bertambah beratnya hingga 81 persen dan interval birahinya lebih cepat 31 persen, frekuensi birahi menjadi 69 persen lebih sering, berat anak lahir 12 persen. lebih besar, dan berat anak waktu disapih 18 persen lebih besar.
Di samping itu, STS juga mengurangi waktu memelihara ternak karena pakan selalu tersedia, maka ternak tidak perlu digembalakan lagi. Sehingga waktu yang digunakan untuk mengembala selama 20–25 menit per harinya dapat digunakan untuk kegiatan lainnya, seperti memelihara ayam, lebah madu, beternak bekicot atau kerja sosial di desa.
Meningkatkan daya tampung.
Dengan banyaknya persediaan hijauan makanan ternak, maka ternak yang dipelihara bisa bertambah banyak. Satu unit STS dapat menampung satu ekor sapi dengan berat 375 kilogram atau 6 ekor kambing dengan berat 60 kilogram.
Meningkatkan kesuburan tanah
Pada sistem peternakan tradisional, sapi digembalakan pada waktu siang hari, sehingga kotorannya tersebar tidak teratur. Sedangkan STS, sapi dikandangkan sehingga kotorannya dapat disebarkan merata pada lahan yang ditentukan. Akar-akar sentrosema, stelo verano, stelo skabra, gamal, lamtoro dan akasia vilosa mengandung bintil-bintil nitrogen, yang dapat melepaskan nitrogen untuk tanaman di sekitarnya. Sedangkan akar dan daun rumput, semak dan pohon yang melapuk juga bisa meningkatkan humus tanah.
Mengurangi erosi
Bagian selimut dan pinggir dari STS dapat menahan air hujan di atas tanah sehingga tidak mengalir dengan deras. Dengan demikian tanah dan batu-batu kecil tidak dihanyutkan oleh air, sehingga erosi pada tanah miring dapat dikurangi sebesar 45 persen.
Menyediakan kayu api dan kayu keras
Setiap pemangkasan semak ataupun pepohonan, daun-daunnya bisa digunakan untuk pakan ternak sedangkan cabang-cabangnya dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Satu unit STS mampu menyediakan kayu bakar sebanyak 1,6–4,2 ton per tahun. Di samping itu, semak maupun pohon merupakan tanaman keras (berkayu) yang baik untuk pagar permanen.
Menyediakan bibit untuk perluasan STS
Cabang-cabang semak dan pohon yang baik dapat dijadikan stek, rumput dan legumenosa dapat disapih, atau yang meluas ke bagian inti dapat dicabuti untuk membuat STS yang baru. Pada tahun ketiga, setiap unit STS dapat dikembangkan menjadi 1–2 STS lagi.
Merangsang timbulnya kegiatan penunjang
Rumput dan legumenosa pada stratum satu, semak pada stratum dua, dan pohon pada stratum tiga berbunga secara bergantian. Bunga ini menyediakan tepung sari dan nektar untuk peternakan lebah madu. Biji rumput dan legumenosa yang jatuh serta rayap yang tersembunyi pada daun gamal yang melapuk diatas tanah merupakan sumber tenaga, protein nabati dan protein hewani untuk ayam kampung yang berkeliaran pada STS tersebut Daun segar merupakan sumber vitamin dan mineral, dan adanya daun semak maupun pohon memungkinkan tersedianya bibit bekicot untuk dipelihara secara intensif (dalam bak). Daun semak dan pohon itu dapat dipetik sebagai sumber makanan bekicot.
Dengan diambilnya bekicot untuk diternakkan, maka dapat dicegah hama pada palawija. Jadi, secara tidak langsung, pendapatan petani menjadi 36 persen lebih banyak.
Menambah keindahan lingkungan
Dengan adanya rumput, semak dan pohon yang dipangkas secara teratur dan terarah, maka lahan-lahan miring akan menghijau sepanjang tahun. Pada waktu musim kering, bagian inti yang palawija sudah dipanen, serta bagian selimut dan bagian pinggir yang tetap menghijau, akan nampak seperti cermin dengan bingkai hijau dari tempat ketinggian.
1. Penerapan STS
Penerapan STS :
a. Pada pertanian lahan kering yang curah hujannya kurang dari 1.500 mm pertahun dengan 8 bulan musim kemarau dan 4 bulan musim hujan.
b. Pada pertanian lahan kering yang tofografinya datar atau miring yang kurang produktif untuk pertanian pangan atau tanaman industri.
2. Peranan STS Stratum 2 dan 3
a. Stratum 2 dan 3 merupakan pagar hidup sehingga ternak sukar mengganggu tanaman pangan didalam unit STS tersebut.
b. Stratum 2 dan 3 menahan angin yang kencang yang dapat merusak tanaman pangan.
Stratum 1 menyediakan makanan, sehingga menghalangi ternak merusak tanaman pangan jika menembus pagar hidup (stratum 2 dan 3).
Pada lahan miring stratum 1 menahan lajunya air hujan sehingga mengurangi hanyutnya tanah oleh air hujan.
Ternak tidak perlu digembalakan karena STS telah menyediakan makanan yang cukup.
2.3.Pembuatan dan Pemeliharaan STS
a. Lahan
Lahan yang digunakan untuk STS adalah lahan datar dan lahan miring yang sedang/masih ditanami, lahan tidur maupun lahan kritis. Bentuk lahan disesuaikan dengan lahan yang dimiliki petani. Lahan mulai dibajak pada musim kemarau dan dibiarkan istirahat sehingga gulma tumbuh, pada awal musim hujan lahan dibajak lagi untuk membunuh gulma sehingga lahan siap ditanami.
b. Cara Penanaman
- Cara penanaman stratum 1 :
1. Biji Leguminosa Stylo scabra dan Stylo verano harus digosok dengan kertas amplas sampai bersih agar dapat berkecambah, jika tidak digosok dengan kertas amplas kecambahnya pada tahun pertama agak rendah.
2.Biji rumput Bafel, Urokloa dan Panicum dan biji Leguminosa Centrosema harus direndam dalam air panas selama 15 menit agar cepat berkecambah, sehabis direndam biji-bijian tersebut harus langsung ditanam.
3.Stylo scabra dan Centrosema ditanam bersama-sama karena Stylo skabra merupakan pejantan bagi Centrosema.
4.Selimut pada bagian bawah ditanami campuran rumput dan leguminosa.
5. Penanaman dilakukan setelah berturut-turut 3 hari hujan atau dalam permukaan tanah yang basah 3-5 cm.
6. Setelah selesai menanam maka biji rumput dan leguminosa harus ditutupi dengan tanah dengan menaruh pelepah kelapa yang masih memilik daun atau cabang daun-daunan lainnya diatas permukaan petak penanaman.
7.Penanaman dilakukan segera, sesudah (1-2 minggu) atau bersamaan dengan penanaman pangan.
- Cara penanaman stratum 2:
1.Stek semak sepanjang 1 - 1,5 m dengan diameter 3 - 4 cm ditanam sedalam 25 cm dengan jarak 10 cm diantara 2 pohon. Ditanam pada awal musim hujan.
2. Biji semak ditanam pada larikan yang telah tersedia diantara 2 pohon. Sebelum ditanam sebaiknya direndam dengan menggunakan air dingin selama 24 jam kemudiaan ditanam sedalam 5 cm dengan jarak 10 cm. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan.
3. Stek semak harus dijepit dengan bambu untuk mencegah rebahnya stek semak.
- Cara penanaman stratum 3:
1. Stek pohon sepanjang 2 -2,5 cm dengan diameter 5 – 10 cm ditanam pada lubang yang telah tersedia baik secara berurutan atau selang-seling.
2. Stek pohon harus ditanam pada permulaan musim hujan.
3. Sesudah stek dimasukkan, lubang harus ditutupi dengan tanah dan dipadatkan.
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan insektisida perlu dilakukan bila tanaman terserang hama dan penyakit.
- Tanaman liar pada selimut tidak perlu dicabut karena akan mati dengan sendirinya pada waktu musim kering.
- Untuk menjaga produksi tetap optimal lahan yang sudah kosong ditanami kembali.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari penulisan diatas dapat disimpulkan bahwa : penanaman STS pada lahan miring mempengaruhi jumlah teras yang dibuat. Tujuan dari pembuatan terasa adalah mencegah terjadinya erosi pada lahan miring. Teras yang dibuat ditanami dengan rumput dan legume pohon, sehingga dapat menehan tanah dari erosi. Peranan STS pada Stratum 2 dan 3 merupakan pagar hidup sehingga ternak sukar mengganggu tanaman pangan didalam unit STS tersebut.
Stratum 2 dan 3 juga menahan angin yang kencang yang dapat merusak tanaman pangan. Stratum 1 menyediakan makanan, sehingga menghalangi ternak merusak tanaman pangan jika menembus pagar hidup (stratum 2 dan 3). Pada lahan miring stratum 1 menahan lajunya air hujan sehingga mengurangi hanyutnya tanah oleh air hujan. Ternak tidak perlu digembalakan karena STS telah menyediakan makanan yang cukup
3.2. Saran
Untuk menerapkan STS perlu diperhatihan:
a. Lahan yang digunakan untuk STS adalah lahan datar dan lahan miring yang sedang/masih ditanami, lahan tidur maupun lahan kritis.
b. Bentuk lahan disesuaikan dengan lahan yang dimiliki petani.
c. Lahan mulai dibajak pada musim kemarau dan dibiarkan istirahat sehingga gulma tumbuh, pada awal musim hujan lahan dibajak lagi untuk membunuh gulma sehingga lahan siap ditanami.
0 Response to "PENERAPAN SISTEM TIGA STRATA (STS) PADA LAHAN MIRING"
Post a Comment